Sabtu, 27 Oktober 2012

Pensahihan dan Pendaifan Mutaakhirin

Sejak dulu, para ulama ahli hadis telah melakukan kajian kritis terhadap hadis dalam rangka menyeleksi hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) dan yang ditolak (mardud). Mereka juga telah mengupas permaslahan ‘illah dalam setiap hadis sehingga setiap hadis dapat diketahui statusnya. Mereka menyuguhkan sebuah studi kritis dan ilmiah sehingga mampu menyingkap hakikat yang tersembunyi dalam sanad maupun matan hadis. Mereka seolah-olah hidup dan bergaul dengan perawi-perawi itu serta mentransfer matan-matan hadis di sela-sela majelis riwayat. Sejak dahulu pula pembahasan dan kesimpulan mereka selalu menjadi rujukan bagi para ulama setelahnya.



Namun ketika zaman telah berlalu sekian lama dan jarak antara perawi dengan peneliti hadis semakin jauh, sebagian ulama merasa khawatir terhadap nasib hadis-hadis beserta sanadnya itu dari penyelewengan orang-orang yang datang belakangan (mutaakhirin) yang menyimpang dari haluan para ahli hadis klasik (mutaqaddimin). Di antara ulama yang khawatir itu adalah Ibn Al-Shalah, ahli hadis yang hingga kini kitabnya menjadi rujukan utama dalam kajian Ilmu Hadis. Beliau menutup celah bagi mutaakhirin untuk menghukumi suatu hadis. Beliau berkata, “Jika kita mendapatkan dalam riwayat-riwayat hadis, sebuah hadis yang sanadnya shahih tapi tidak ditemukan dalam salah satu Kitab Shahihain, dan tidak pula dinilai shahih oleh para imam ahli hadis dalam karangan-karangan mereka yang mu’tamad dan populer, maka kami tidak berani berbuat sembrono (gegabah/cerahoboh) memastikan hukum hadis itu. Di zaman ini, telah tertutup peluang untuk mengetahui hadis shahih hanya berdasarkan sanadnya saja, karena tak satu sanad pun di antara hadis-hadis itu kecuali anda akan menemukan di dalamnya seorang (perawi) yang hanya mengandalkan kitabnya saja, sangat berbeda dengan syarat perawi shahih yang diharuskan memiliki hifzh (hafalan kuat), dhabth (sistem dokumentasi akurat) dan itqon (ketelitian). Maka, penilaian shahih atau hasannya suatu hadis harus dikembalikan kepada penilaian para imam ahli hadis dalam karangan-karangan mereka yang mu’tamad dan populer yang sudah aman –karena popularitasnya- dari perubahan (taghyir) dan penyimpangan (tahrif).” (Mukaddimah Ulumul Hadis, Ibn Al-Shalah, Dar Al-Fikr, hal. 17)

Akan tetapi, tidak semua ulama menyetujui pendapat Ibn Al-Shalah ini. Di antara mereka ada yang tetap membolehkan setiap orang meneliti dan memutuskan status hadis selama memiliki kapabilitas dalam bidang itu. Di antara ulama yang berpendapat ini adalah An-Nawawi, Ibn Katsir, Al-Iraqi, Ibn Hajar dan lain-lain. Di antara mereka yang paling populer menentang pendapat Ibn Al-Shalah adalah Al-Iraqi dan muridnya, Ibn Hajar.

Perdebatan panjang antara dua kubu ini telah menarik perhatian Imam As-Suyuthi sehingga beliau menulis sebuah tesis berjudul, At-Tanqih li Masalat Al-Tashih (Penjelasan Mengenai Masalah Pen-shahih-an). Beliau mendamaikan kedua kubu tersebut dengan sebuah metode yang sangat jitu. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud Ibn Al-Shalah adalah hadis shahih lidzatihi sedangkan yang dimaksud oleh para penentangnya adalah hadis shahih lighairihi. Jadi, tidak ada kontradiksi antara pendapat-pendapat mereka.

Namun demikian, seseorang tetap harus berhati-hati dalam menilai suatu hadis, apalagi jika belum memiliki kapabilitas di bidang itu. Menilai suatu hadis tidaklah semudah menghitung angka dalam matematika dan tidak bisa dilakukan hanya dengan membolak-balik buku di perpustakaan saja, sebagaimana dipahami sebagian orang. Oleh karena itu, Imam As-Suyuthi mengatakan, “Langkah yang paling hati-hati dalam masalah seperti ini adalah melabeli hadis semacam itu dengan label shahih al-isnad (sanadnya shahih) tanpa memastikan pen-shahih-an secara mutlak karena masih adanya kemungkinan ‘illah yang tersembunyi di dalam hadis itu.” Beliau melanjutkan, “Dan berapa banyak hadis dha’if atau wahi (lemah) yang sanadnya shahih.” (Tadrib Al-Rawi 1/159)

Demikian pula sebaliknya, jika dalam pen-shahih-an seseorang mesti berhati-hati, dalam pen-dhaif-an suatu hadis pun tidak boleh dilakukan hanya karena sanadnya dhaif. Adakalanya sebuah hadis yang sanadnya dhaif memiliki sanad lain yang shahih atau memiliki penguat-penguat lainnya yang mengangkat derajatnya menjadi hasan atau maqbul (dapat diterima). (Tadrib Al-Rawi 1/160)

Sumber:
1. Manhaj Al-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits karya Syaikh Dr. Nuruddin Eter.
2. Tadrib Al-Rawi karya Imam Jalaluddin Al-Suyuthi.
3. Ulum Al-Hadits karya Imam Abu ‘Amr Ibn Al-Shalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar