Senin, 07 Januari 2013

Bagaimana Membaca Perdebatan Hermeneutika/Semiotika dalam Tradisi Keilmuan Muslim Kontemporer...Sebuah Perspektif Maqasidi...[1]


M. Khoirul Huda

1.      Pendahuluan
“Pemeluk agama hanya menjalankan teks-teks suci, sedang para agamawan mengkritisi ajaran-ajaran suci.” Kutipan ini berasal dari Sholeh UG, penyunting buku Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran, saat memberikan pengantar untuk buku tersebut. Fenomena ini sudah cukup umum dalam komunitas agama-agama. Kahlil Gibran yang hidup dalam tradisi Kristen Lebanon memahami betul akan fenomena itu, kemudian dia tuangkan temuannya tersebut dalam sosok Affandi Karamy dan Pendeta Galib. Affandi Karamy merupakan seorang kaya yang jujur lagi taat beragama. Sedangkan pendeta Galib adalah sosok agamawan terkemuka yang cerdas dan mempunyai jaringan luas. Sayangnya, Gibran menggambarkan sosok terakhir ini sebagai orang yang mudah mencarikan justifikasi agama, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga maupun kolega-koleganya. Baiklah, sementara kita kesampingkan narasi sang pujangga di atas, dan kita beralih pada fenomena “mengkritisi ajaran suci”.

Dalam konteks masyarakat muslim kontemporer, fenomena mengkritisi “ajaran suci” dapat diteropong melalui kontroversi penggunaan hermeneutika/semiotika dalam memahami ajaran suci. Melalui perdebatan yang terjadi di dalamnya, kita dapat menemukan fenomena ketakutan seseorang akan hancurnya kesucian atau sakralitas agamanya, selain unjuk gigi atas kepercayaan diri seorang pemeluk agama pada keyakinannya, pengetahuan dan kepedulian sosialnya. Dua tipikal kaum beragama semacam ini, sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda akan akur. Masing-masing berjalan menurut keyakinannya sendiri. Mereka yang menerima telah menindak-lanjuti dalam bentuk produksi karya-karya tentang heremeneutika, contoh-contoh penggunaannya, dan hasil-hasil pemahaman menggunakan pendekatan ini. Bahkan, tahap terapan ini telah menjadi suatu gerakan intelektual tersendiri melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat lengkap dengan kurikulumnya. Akhirnya, mendiskusikan kontroversialitas hermeneutika/semiotika dalam memahami ajaran agama sebenarnya telah selesai dengan sendirinya. Dalam bahasa pesantren, mereka telah sepakat untuk tidak sepakat. Sepakat untuk berbeda. Lalu, hendak dibawa kemana tulisan ini?
Di sini, penulis bermaksud menunjukkan argumentasi lain di tengah kontroversialitas hermeneutika/semiotika melalui telaah maqasidiah. Bukan untuk menerima atau menolaknya, tapi justru untuk mengukur sejauh mana ia dapat diterima dan ditolak? Pendekatan maqasidi terhadap isu ini, menurut yang penulis baca, belum pernah dilakukan oleh para peneliti. Sedangkan untuk urutan pemahasan, penulis akan membaginya dalam beberapa sub bab.
Pada sub-bab pertama, akan dibahas tentang pengertian pendekatan maqasid yang penulis maksud. Kemudian, pengertian hermeneutika berikut sejarah singkatnya dalam jagat intelektual Barat dan Timur. Stressing tentu diberikan kepada Timur, karena dialah subjek yang diperbincangkan di sini. Orang-orang Timur yang menerima dan menolaknya. Bagaimana mereka memperdebatkan isu tersebut dalam tulisan-tulisan mereka. Penulis tidak akan menelaah seluruh tulisan orang-orang Timur terkait hermeneutik, karena ada banyak keterbatasan yang menghalangi untuk melakukan itu. Selanjutnya, pertimbangan-pertimbangan yang diperoleh melalui perdebatan tersebut akan coba disederhanakan dan dilihat secara maqasidi. Pada akhirnya, kita akan melihat sebuah simpulan yang diandaikan dapat menjembatani kontroversialitas isu yang sebenarnya sudah dingin tersebut.

2.      Pendekatan Maqasidiah: Sebuah Titik Tolak
Dalam bahasa Arab, maqasid merupakan bentuk jamak dari kata maqsad atau maqsud Maqsud merupakan derivasi dari qasada yang berarti jalan yang lurus, adil, tidak berlebihan dan tujuan.[2] Dalam penelitian tentang maqasid, istilah ini banyak digunakan oleh para ulama untuk menunjuk hikmah ajaran agama. Karya-karya al-Hakim at-Tirmidzi, tokoh filsuf dan sufi Malamatiah terkemuka, seperti maqasid ash-shalah, maqasid al-hajj dan lainnya merupakan penunjuk awal penggunaan istilah tersebut dalam dunia pengetahuan. Kajian maqasid kemudian banyak dikembangkan oleh ulama usul fiqh, diawali oleh asy-Syafi’I, terutama dalam pengkajian tentang cara mencari alasan suatu hukum syariat/agama (‘illat al-hukm). Dari sini, muncul istilah maqasid asy-syari’ah (tujuan-tujuan agama).
Menurut Ibnu Asyur, Maqasid asy-Syari’ah berarti makna/hikmah yang menjadi perhatian utama pembuat syariat dalam aktifitas legislasi-Nya, baik secara umum maupun untuk konteks tertentu.[3]
Al-Juwayni menegaskan bahwa pada prinsipnya, hukum-hukum agama didasarkan pada tiga kategori hirarkhis kebutuhan hidup manusia; dharuriat (primer), hajiat (sekunder) dan tahsiniat (tersier). Muridnya, al-Ghazali memberikan perincian terhadap tiga kategori di atas. Bahwa agama diciptakan untuk mewujudkan perlindungan terhadap lima prinsip dasar kehidupan; keyakinan/agama, harta, keturunan, akal dan harga diri. Izzuddin bin Abdis Salam menyatakan bahwa prinsip paling esensial dari agama adalah menjauhkan manusia dari kehancuran (dar’u al-mafasid). Eksplorasi lebih mendalam terhadap konsep maqasid syari’ah dilakukan oleh asy-Syatibi beberapa abad berikutnya, melalui karya monumentalnya, al-Muwafaqat. Selama berabad-abad kajian ini terbengkalai, dan hanya dimuat dalam selipan kitab ushul fiqh. Pada abad modern, kehadiran Ibnu Asyur membangkitkan kajian maqasid dan mengisi kekosongan kerangka filosofis ushul fiqh.[4]
Sekarang, kajian maqasid telah merambah objek-objek selain teks-teks agama seperti strategi kebijakan publik/perusahaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, analisis sosial-politik dan kebudayaan. Di sini, maqasid mengambil peran penting dalam  kehidupan intelektual muslim kontemporer. Maqasid bukan lagi dimonopoli kajian-kajian keagamaan, sekalipun berangkat dari titik ini. Bila dulu dikenal maqasid al-falasifah karya al-Ghazali dalam bidang filsafat skolastik dan maqasid an-nahwiah jargon utama kitab Khulasah Alfiah karya Ibnu Malik al-Andalusi yang menunjukkan kekayaan kajian maqasid, maka sudah saatnya dikembangkan kajian-kajian maqasid yang berorientasikan pada pemecahan problem-problem kekinian.[5] Dalam melakukan analisis maqasidi, dapat digunakan prinsip prioritas kebutuhan (aulawiat maratib adh-dharuriat) hasil pengembangan gagasan al-Juwaini yang dikawinkan dengan lima prinsip al-Ghazali (al-kulliyat al-khams). Di sinilah terjadi sintesa yang menarik tentang sebuah paradigma atau kerangka berfikir maqasidi (al-fikr al-maqasidi). Ar-Raisuni menegaskan berfikir maqasidi meniscayakan penggunaan pertimbangan-pertimbangan berikut: seluruh perintah agama mempunyai tujuan kebajikan (kullu ma fi asy-syari’ah mu’allal wa lahu maqsuduhu wa maslahatuh), kebajikan maqasidi harus dibangun berdasar teks agama (la taqsida illa bi ad-dalil), memahami melalui kerangka bahasa Arab (lisan al-‘arab huwa al-mutarajjim ‘an maqasid asy-syari’), penggunaan metode deduksi illat usul fiqh (masalik al-‘illah) kebajikan disusun secara hirarkhis (tartib al-masalih wa al-mafasid) dan pemilahan yang tegas antara perantara dan tujuan (at-tamyiz baina al-maqasid wa al-wasa’il).[6]  
Melalui kerang-kerangka ini, nanti kita akan mencoba melihat problem hermeneutik/semiotik. Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi secara hitam putih (boleh-tidak digunakan), memberikan keputusan yang detail (bisa-tidak dikembangkan dalam studi al-Quran), kecuali hanya memberikan kerangka umum pengembangan hermeneutika bila hendak dikembangkan dan penilaian positif-negatifnya dalam perspektif maqasid.

3.      Hermeneutik... Apakah Subjek Tersebut?
Di antara buku terbaik yang mengulas hermeneutika secara umum ialah karya Richard E. Palmer yang diindonesiakan dengan judul Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru dari judul aslinya Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Dalam buku ini, Palmer menjelaskan pergeseran-pergeseran yang dialami diskursus hermeneutika.
      Palmer mengatakan bahwa hermeneuein-hermeneia berasal dari bahasa Yunani Hermeios, nama seorang pendeta bijak kota Delphic. Kata kerja dan nama tokoh ini merujuk pada nama Dewa Yunani, Hermes. Seorang dewa yang bertugas menyampaikan pesan dewa tertinggi kepada umat manusia. Sekarang, kata ini dimaknai dengan beberapa pengertian: (1) mengungkapkan, (2) menjelaskan dan (3) menerjemahkan.[7] Melalui pengertian-pengertian ini para hermeneutikus menerjemahkan ke dalam sistem pemikiran mereka. Palmer melacak, awalnya hermeneutika digunakan sebagai teori penafsiran kitab suci Bible (biblical exegessis). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan judul buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum yang terbit pada tahun 1654.[8]
Pada abad ke-18, hermeneutika dikenal sebagai metodologi filologis. Akibat pengaruh rasionalisme serta perkembangan filologi klasik, hermeneutik mendapatkan corak baru, yaitu kecenderungan pada kritik historis dalam teologi. Pengaruh itu mengkristal menjadikan seakan hermeneutika dan filologi tidak dapat dipisahkan, dengan tidak melupakan kedekatannya dengan tradisi Bibel. Hingga abad ke-19, muncul tokoh-tokoh besar yang mencoba melebarkan saya hermeneutika sekadar dari penafsiran kitab suci. Hermeneutika diandaikan mengambil peran sebagai kaidah-kaidah umum dari kerja eksegesis filologis, dan menjadikan Bibel hanya sebagai salah satu objek kajiannya. Proyek ini ditangani oleh Schleirmacher, August Wolf, Friederich Ast.[9] Di tangan Schleirmacher, hermeneutik mendapatkan tempat dalam gramatika dan psikologi. Tokoh-tokoh ini bekerja dalam kerangka bahasa, sehingga lahirlah apa yang disebut hermeneutika linguistik. Akhir abad ke-19, pada tokoh Wilhelm Dilthey, hermeneutika bergeser menjadi fondasi bagi metodologi ilmu-ilmu humaniora (geisteswissenschaften). Selanjutnya, Martin Heidegger mendaku hermeneutika sebagai fenomenologi dassein dan pemahaman eksistensial. Dia menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Being and Time, terbit tahun 1927. Sederhananya, dia ingin menunjukkan tentang bagaimana manusia menjadi tahu, serta kritik terhadap cara “tahu” manusia zamannya yang cenderung mekanistis dan dipenuhi dunia asumsi. Hal ini menghalangi seseorang dari memahami secara langsung hakikat objek yang diteliti/pahami. Metode ilmiah baginya telah gagal menghadirkan suatu objek secara apa adanya. Untuk itulah, dengan hermeneutika fenomenologis ini, diharapkan manusia dapat memahami suatu objek sebagaimana adanya. Biarkan objek itu hadir dengan sendirinya, tanpa kita paksa dengan nafsu metodis kita. Sekali lagi, karena asumsi kita selalu menjebak fenomena. Selanjutnya, Paul Ricoeur menilai hermeneutika sebagai sistem interpretasi untuk menemukan makna sebenarnya dari apa yang disebut ikonoklasme. Ikonoklasme merupakan konsep yang dikembangkan Sigmun Freud, pendiri psikoanalis, dan merujuk pada ilusi kekanakan, perilaku yang tampak, atau sekadar narasi mimpi yang dapat ditangkap secara sederhana oleh manusia dan harus diungkap/dihapus untuk menemukan sumbernya yang paling asasi. Seluruhnya tercipta dari aspek bawah sadar manusia. Hermeneutika, bagi Ricoeur lebih layak diarahkan pada proses pengungkapan tersebut. Hal ini tidak lain merupakan proses interpretasi atau penafsiran. Di sini, dia mendefinisikan hermeneutika sebagai teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, atau sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.[10]
Dari sini, dapat dikatakan bahwa hermeneutika telah banyak mengalami pergeseran. Dimulai dari apa yang disebut hermeneutika teologis, filologis, metode universal, hermeneutika metodis-humanis, hermeneutika fenomenologis dan terakhir hermeneutika sebagai sistem penafsiran umum. Ragam pengertian semacam ini diterima oleh banyak pihak, termasuk mereka yang kontra terhadap penggunaan hermeneutik dalam studi Islam.[11] Demikian pula dengan pihak yang pro semisal Sahiron Syamsuddin yang mengenalkan tiga tahap perkembangan hermeneutik sejak apa yang disebutnya hermeneutika teks mitos, hermeneutika teks kitab suci, dan hermeneutika umum.[12] Melihat perjalanan panjang hermeneutika di atas, tidak heran bila dalam mendefinisikan terma tersebut, para pemikir memiliki ungkapan yang berbeda-beda. Ben Vedder dan Matthias Jung, seperti dikutip Sahiron, membedakan empat definisi hermeneutik yang meliputi; hermeneus/interpretation (penafsiran), hermeneutik/hermeneutics (hermeneutika), philosopische hermeneutik/philosophical hermeneutics (hermeneutika filosofis), hermeneutsche philosophie/hermeneutical philosophy (filsafat hermeneutis).
Hermeneus (penafsiran) diartikan sebagai penjelasan atas interpretasi sebuah teks, karya seni atau perilaku seseorang. Dapat dikatakan di sini bahwa penafsiran di sini masih bersifat terbuka tanpa melibatkan syarat-syarat yang rumit sebagai metodenya. Setiap proses pemahaman disebut dengan hermeneus.
Hermeneutik (hermeneutika) diberikan kepada suatu kejadian ketika seseorang berbicara tentang aturan, metode dan strategi penafsiran. Hermeneutik dalam hal ini tentu saja sangat teknis. Artinya, ketika seseorang yang berbicara tentang metode penafsiran itulah yang disebut hermeneutika.
Philosophie Hermeneutik merupakan tingkat lebih lanjut dari studi tentang penafsiran. Di sini, yang dibicarakan bukan lagi metode-metode penafsiran sebagai inti kajian, melainkan hal-hal yang terkait dengan kondisi-kondisi kemungkinan (conditions of the possibility) yang terjadi dalam kerja penafsiran. Tentu saja pembahasan lebih spekulatif, mendasar dan abstrak. Tokoh-tokoh hermeneutika seperti Dilthey dan Gadamer, mereka tidak berbicara tentang teknis penafsiran, tetapi lebih kepada aspek luaran, syarat-syarat yang memungkinkan kita menafsirkan teks atau perilaku manusia. Dilthey lebih banyak bicara soal kondisi-kondisi dan fondasi penafsiran daripada metode-metode panafsiran dan aplikasinya. Sedangkan Gadamer lebih sering menghindari pembicaraan tentang metode-metode penafsiran, dan beralih pada diskusi tentang kerangka dan fondasi hermeneutis.
Hermeneutische Philosophie atau filsafat hermeneutis ialah bagian dari pemikiran-pemikiran fislafat yang mencoba menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima manusia dari sejarah dan tradisi. Lebih jelasnya, ia adalah proses pemahaman terkait dengan permasalahan epistemologi, ontologi, etika dan aestetika yang merupakan bagian dari pokok-pokok kehidupan manusia secara umum.
Dari keempat tingkat pengertian hermeneutika di atas, sekalipun berbeda-beda, dapat dipahami bahwa hermeneutika adalah ilmu yang membahas tentang metode-metode penafsiran yang tepat untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu ditafsirkan seperti simbol, tanda, perilaku dan teks. Atau juga dapat dikatakan ilmu yang membahas hakikat metode, syarat dan pra-syarat penafsiran.[13] Hal ini tentu saja terlepas dari aliran-aliran yang berkembang di dalamnya, yang mungkin ada sebagian asumsinya yang tidak dapat diterima oleh sementara pihak.[14] Dan yang perlu digarisbawahi, kontroversi hanya terjadi pada (sebagian asumsi yang dikembangkan oleh) hermeneutika dalam dua pengertian terakhir. Yaitu hermeneutika filosofis dan filsafat hermeneutika. Hermeneutika dalam pengertian penafsiran secara umum tidak ditolak sama sekali. Selanjutnya, akan dibahas tentang argumentasi penolakan dan penerimaan terhadap hermeneutika oleh para ilmuwan muslim.

4.      Argumentasi Penolakan-Penerimaan; Perdebatan di Indonesia
4.1.            Argumentasi Penolakan
Dalam paragraf ini, akan dipaparkan argumentasi penolakan oleh tokoh muslim Indonesia. Hal ini dilakukan dengan cara merujuk pada karya-karya yang berisi penolakan yang banyak beredar seperti karya Adian Husaini dan Adnin Armas.  

4.1.1. Menyejajarkan al-Quran dengan Buku Biasa
Keberatan yang diajukan kepada pendekatan ini, ditujukan pada pemosisian al-Quran sebagai karya sastra umumnya. Hal ini dianggap meruntuhkan sakralitas kitab suci dan mengingkari keilahiahannya. Armas menulis,  “Jika hermeneutika diterapkan ke dalam studi Qur’an, maka “paradigma baru” akan muncul bukan saja terhadap tafsir al-Qur’an, tetapi juga kepada status al-Qur’an itu sendiri. Pendapat Schleiermacher yang mengasumsikan semua teks tidak memiliki keunikan akan bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin yang menganggap al-Qur’an sebagai wahyu (tanzil/diturunkan/meta-historis) yang otentik dan final.[15]

4.1.1.      Hermeneutika: Teori yang Tidak Berlandaskan Keimanan
Menurut Armas, menafsirkan al-Quran memerlukan syarat keimanan sebagai dasar. Tanpa keimanan yang kuat, seorang penafsir akan mudah terperosok ke dalam jurang kebidahan, kesesatan, dan gampang tergoda keinginan duniawi. Dan hermeneutika merupakan teori penafsiran yang selain dinilai tidak berlandaskan keimanan (karena meyakini al-Quran bukan sebagai kalamullah). Menurutnya, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat penting bagi seorang mufasir al-Qur’an. Hal ini disebabkan status al-Qur’an tidaklah sama dengan teks-teks yang lain. Jadi, penafsiran al-Qur’an tetap memerlukan metode-metode yang khusus. Hal ini juga bertentangan dengan teori hermeneutika.[16]

4.1.2.      Hermeneutika Membuka Relativitas Penafsiran
Sebagian aliran hermeneutika berimplikasi pada relativitas penafsiran. Konsep-konsep yang sudah mapan dan diyakini umat Islam sebagai final dapat berubah secara radikal. Hermeneutika Gadamer mengimplikasikan bahwa penafsiran akan selalu terbuka karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih persamaan paham... Selain itu, dalam pandangan Gadamer, ilmu tidak akan pernah sempurna. Ilmu pengetahuan akan selalu terbuka untuk direvisi. Hal ini juga bertentangan dengan keyakinan mayoritas para ulama.[17]

4.1.3.      Hermeneutika Tidak Sesuai dengan Pandangan Dunia Islam (woldview)
Hal ini berangkat dari asumsi hermeneutik mengantarkan pada relativisme penafsiran. Padahal, Islam dipahami sebagai agama yang sudah lengkap dan otentik. Wahyu dalam Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Nama Islam, keimanannya, amalannya, ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu, filsafat hermeneutika yang merelatifkan tafsir al-Qur’an, tidaklah sesuai dengan ajaran Islam, makanya perlu ditolak.[18]

4.1.4.      Hermeneutik Menumbuhkan Keraguan
Alasan ini diutarakan oleh Yayan bahwa Jika kita menerima Hermeneutika dalam penafsiran al-Quran termasuk pemikiran Gadamer, maka akan muncul sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran al Quran. Dia berpendapat, bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu. Dalam pandangannya rasio pemahaman apapun atas sebuah riset pasti mengandung sebuah prejudice. Baginya kebenaran hanyalah merupakan khayalan dan rekayasa, bukan merupakan penemuan.[19]

Demikian tadi beberapa argumen untuk menolak menggunakan hermeneutik dalam penafsiran.

4.2.    Argumen Penerimaan
Tokoh yang diangkat dalam hal ini ialah Sahiron Syamsuddin. Bahwa terdapat beberapa argumen untuk menerima hermeneutika sebagai pendekatan dalam penafsiran al-Quran.

4.2.1.      Islam Cukup Berpengalaman dalam Integrasi Ilmu
Islam sebagai seperangkat nilai pernah hadir sebagai kekuatan pendorong lahirnya suatu peradaban yang agung. Di sana Islam tidak mengabaikan peran penting dialog dengan agama dan kebudayaan lain. Islam tidak tenggelam sehingga kehilangan identitasnya. Justru, Islam diperkaya dengan keragaman ide dan perspektif. Pengalaman integrasi semacam itu dapat dijadikan modal untuk melakukan dialog dengan pihak lain sehingga terjadi saling tukar ide sebagai bentuk pengkayaan wawasan masing-masing.  

4.2.2.      Membuat Definisi Tafsir Lebih Sophisticated
Harus diakui bahwa tradisi Ulumul Quran telah lama beku dan tidak menemukan spiritnya yang progresif dalam merespon tantangan zaman. Ketika perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dibendung, sedangkan ilmu-ilmu keislaman secara umum, dan ilmu tafsir secara khusus ditantang untuk menunjukkan taringnya, maka ilmu tafsir perlu dibenahi. Menelaah kekurangan yang ada agar, sebagai ilmu bantu memahami kitab suci, ia dapat menjawab tantangan zaman. Studi tentang penafsiran secara umum telah mengalami perkembangan yang cuku jauh. Hal ini seperti dapat ditemui dalam kajian hermeneutika. Bila ilmu tafsir didefinisikan dengan fahmu kitab allah al-munazzal ‘ala nabiyyihi muhammad wa bayan ma’anihi wa istikhraji ahkamihi wa hikamihi (memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah-nya), sebenarnya belum dijelaskan tentang apakah pemahaman, bagaimana pemahaman terjadi, sejauh mana suatu pemahaman dimungkinkan. Tentang bayan ma’nahihi (menjelaskan makna-maknanya), bagaimana menjelaskan dapat dilakukan, seperti apa syarat dan prasyaratnya dan seterusnya. Begitu pula terkait dengan mengeluarkan hukum dan hikmah, definisi di atas tidak menjelaskan secara lebih rinci. Fahm, bayan dan istikhraj tidak/belum dibedakan secara lebih jelas. Di sinilah kajian hermeneutika dapat berperan.[20]

4.2.3.      Memperkuat Etika dalam Penafsiran
Hermeneutika Gadamer yang mengharuskan terjadinya dialog antara dua horizon, serta kehati-hatian memberikan pemaknaan dan pengaplikasian atas suatu teks, mendorong terwujudnya sikap saling menghargai di antara para penafsir. Bahwa apa yang dicapai seorang mufassir pada hakikatnya bersifat zhanni, dan tidak pernah mencapai makna pasti. Jika demikian adanya, maka penghargaan kepada hasil penafsiran lain merupakan suatu sikap yang niscaya. Hermeneutika menyuguhkan apa yang oleh sementara orang disebut relativitas penafsiran.[21]

4.2.4.      Adanya Aspek-Aspek yang Sesuai
Harus diakui ada beberapa aspek hermeneutika yang dikembangkan tidak ditemukan dalam studi tafsir. Namun, ada pula aspek yang sangat relevan untuk dikembangkan dari tradisi hermeneutika ke dalam tradisi tafsir al-Quran. Sahiron mencatat tiga keseuaian hermeneutika Gadamer dengan aspek-aspek ulumul Quran; [22]
(a)    teori tentang kesadaran sejarah, pra-pemahaman dan kehati-hatian dalam menafsirkan teks al-Quran. Nabi saw. telah menegaskan bahwa seseorang harus berhati-hati dalam menafsirkan al-Quran, agar tidak terjebak dengan kepentingan pribadinya. Karenanya, setiap pra-pemahaman yang merupakan ‘bawaan’ mufasir yang lahir dari peristiwa kesejarahan yang dialaminya sedini mungkin diantisipasi agar tidak terbawa dalam proses penafsiran. Untuk itu, mufasir perlu memiliki kesadaran sejarah yang baik agar dapat membedakan kepentingan yang meliputi mufasir dan kepentingan al-Quran saat diturunkan.
(b)    teori aplikasi dan interpretasi ma’na-cum-maghza,
teori aplikasi merujuk pada kemahiran seorang penafsir dalam mengaplikasikan dengan konteks kehidupannya setelah dia menemukan makna sebenarnya dari teks ditafsirkan. Agar tidak terjadi kesalahan, ketidak-sinambungan makna, seseorang harus bisa membedakan makna permukaan dan makna yang lebih dalam, makna zahir dan makna batin, ma’na dan maghza, meaning dan significance, sinn dan sinnesgemap yang seluruhnya menunjuk pada lapisan-lapisan makna yang dikandung teks dan diserahkan kepada kebijaksanaan penafsir untuk dipilih mana yang relevan untuk diaplikasikan. Di sini, seorang mufasir dituntut menggunakan kearifannya.
(c)    teori fusion of horizons dan dirasat ma haula nash.  
Teori fusi horison menegaskan bahwa dalam proses penafsiran terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilasikan; horison teks dan horison mufasir. Horison teks atau weltanschaung teks (pandangan dunia yang terkandung dalam teks) hanya dapat diketahui, meminjam Amin al-Khuli, melalui studi terhadap dua aspek sekaligus; ma fi an-nashsh dan ma haula an-nashsh.

5.    Menimbang Perdebatan Melalui Maqasid Syari’ah
Argumentasi dan perdebatan diterima-tidaknya hermeneutika dalam studi Islam dapat disederhanakan pada dua pokok. Pertama, kelompok yang menolak mendasarkan argumentasinya pada perlindungan terhadap keyakinan seorang muslim. Hal ini dilakukan dengan mengeksplorasi titik-titik perbedaan yang dinilai signifikan antara ilmu tafsir dan hermeneutika. Keberatan paling menonjol terletak pada keyakinan tentang posisi al-Quran yang dinilai sebagai meta-historis, suci, sakral dan ilahi. Namun, paling tidak dapat dimengerti apa yang hendak dibela oleh kelompok ini, yaitu keyakinan/akidah. Tepatnya, keyakinan atas kesucian al-Quran. Bagi kelompok ini, menggunakan hermeneutika berarti dan berakibat merusak akidah.
     Sedangkan kelompok kedua yang menerima/mengembangkan hermeneutika mendasarkan diri pada kebutuhan memahami ajaran agama dengan metode yang lebih baik, kontekstual, aplikabel dan relevan dengan semangat zaman. Tujuan ini dilakukan dengan cara mengadopsi metode keilmuan yang berasal dari tradisi non agama, hermeneutika, yang tidak lain dipahami sebagai metode penafsiran umum. Terlepas dari keragaman metode, beberapa hal yang menjadi titik beda, dan dampak positif-negatifnya. Bagi kelompok ini, nilai-nilai Islam harus berdialog dengan nilai-nilai lain untuk mewujudkan hubungan kehidupan/kemanusiaan yang lebih baik sebagaimana yang menjadi cita-cita wahyu dalam Islam. Semua itu hanya dapat dilakukan melalui cara dialog. Melalui hermeneutika, pandangan keislaman dapat diperkaya dengan pandangan yang sejalan dengannya. Tampak jelas bahwa kelompok ini ingin memperkaya aspek keilmuan Islam. Bukan menghancurkan Islam.

5.1.    Pertentangan Hifzh ad-Din dan Hifzh al-‘aql:
Dari sini dapat dilihat bahwa pada dasarnya telah terjadi polemik antara mereka yang mendukung didahulukannya perlindungan atas keyakinan dan perlindungan terhadap keilmuan. Dalam bahasa maqasidiyin, terjadi pertentangan antara hifzh ad-din dan hifzh al-‘aqli.[23] Demikian, peta persoalan ini menurut kaca mata maqasid syariah. Pertanyaannya, bagaimana menyelesaikan problem ini? Bukankah keduanya merupakan kemaslahatan yang sama-sama diperhatikan oleh Syari’ (pembuat syariat, Tuhan)?
Penilaian maqasidi, memerlukan langkah-langkah yang telah disebutkan dalam sub bab kedua (Pendekatan Maqasidiah: Sebuah Titik Tolak). Pertama, harus ditanamkan keyakinan seluruh doktrin agama memiliki landasan rasional, tujuan yang jelas serta bermuatan kebajikan-kebajikan (kullu ma fi asy-syari’ah mu’allal wa lahu maqsuduhu wa maslahatuh). Artinya, landasan rasional itu harus dicari, dijelaskan dan digunakan untuk menilai persoalan lain yang terkait. Dalam tema yang sedang kita diskusikan (baca: problem keilmuan yang relevan untuk memahami agama/kitab suci), titik episentrum persoalannya sudah sangat jelas. Yaitu benturan antara konsep perlindungan atas keyakinan dan keilmuan-akal. Perlindungan terhadap keduanya merupakan alasan dan tujuan kehadiran agama dimana di dalamnya terdapat kebajikan bagi manusia (maqasid al-mukallafin).[24]
Yang dimaksud agama ialah seperangkat aturan yang (diyakini) bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui seorang utusan guna membawa umat manusia menuju kebenaran dalam berkeyakinan, kebajikan perilaku dan interaksi dengan sesama, yang dengan tunduk kepada aturan tersebut manusia akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Dari sini dapat dibatasi bahwa agama adalah apa yang diwahyukan. Dalam konteks Islam, pastinya wahyu terkumpul dalam mushaf al-Quran (juga sebagian sunnah). Sedangkan penafsiran terhadapnya bisa jadi merupakan sesuatu yang lain, bukan ad-din itu sendiri. Dengan demikian, selama seseorang tidak meyakini kepalsuan al-Quran, dia tetap dinilai sebagai muslim. Terlebih seseorang yang berusaha memahami ajaran-ajaran kitab sucinya. Sebaliknya, para pengingkar al-Quran (dalam beberapa tingkatannya?) bisa jadi dianggap meruntuhkan agama. Tahap berikutnya ialah pelaksanaan ajaran-ajaran agama sebagai bentuk pengejawantahan wahyu. Sekalipun bukan wahyu itu sendiri, pelaksanaan merupakan bagian terjauh dari suatu wahyu. Dapat dilihat bahwa agama dimulai dari keyakinan, pemikiran, dan pengamalan. Dengan bagian paling pokoknya ada pada keyakinan, terutama keyakinan terhadap yang Mahakuasa.[25] Melalui kerangka tartib maqasid, dapat dikatakan keyakinan merupakan maqasid level dharuriat, ritual keagamaan sebagai hajiat, dan pembangunan infrastruktur, regulasi perundangan, penyediaan sarana pendidikan keagamaan menjadi kebutuhan tersier-tahsiniat. Penolakan atas penggunaan hermeneutika dalam studi Islam, dengan demikian masuk dalam kategori hifzh ad-din-tahsini. Dengan pertimbangan ia tidak terkait dengan keyakinan secara langsung.
Sedangkan akal berarti suatu daya yang tersimpan dalam diri manusia yang dapat digunakan menemukan pengetahuan serta menciptakan teori-teori pengetahuan.[26] Di sini, akal dibedakan dari indera lain yang dimiliki manusia. Karena, indera tidak dapat mengolah dan memproduksi pengetahuan seperti akal. Akal juga berkaitan dengan wahyu dimana keduanya memiliki jangkauan objek masih diberdebatkan. Pada umumnya, para ulama lebih setuju pada pendapat keterbatasan akal, sekalipun ia memiliki peran penting yang tidak dapat diabaikan. Melalui kerangka tartib maqasid, menjaga keberadaan akal dari yang segala hal yang dapat merusak materi akal, merupakan kebutuhan dharuriat, mengadakan pendidikan merupakan kebutuhan hajiat, dan pembangunan infrastruktur; bangunan, kurikulum, sistem pendidikan, menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan tahsiniat. Di sini, penerimaan/pengembangan hermeneutika dalam tema yang kita bahas masuk dalam kategori tahsini.

6.    Penutup
Melalui kerangka analisis di atas, dapat ditarik garis kesimpulan, tema yang sedang kita angkat berada dalam level tahsini. Dengan demikian, sebenarnya persoalan ini tidak terlalu serius karena perdebatan yang dilakukan para aktornya hanya dalam kerangka kebutuhan yang tersier. Di sini, perlu pula dicatat, hermeneutika sebagai metode memahami kitab Allah bukanlah suatu keharusan dalam arti masih banyak alternatif yang bisa dipakai. Namun, demikian, urgensi yang relevan dengan al-Quran dan masih memungkinkan dimodifikasi, sebagaimana layaknya kerja penelitian, selalu meniscayakan penyesuaian dan perombakan teori.
Dapat pula ditarik garis besar bahwa pengembangan hermeneutika hendaknya memperhatikan kepentingan keyakinan dan keilmuan. Kepentingan keyakinan hendaknya tidak merintangi pengembangan keilmuan. Demikian pula sebaliknya, pengembangan keilmuan tidak seyogyanya merusak keyakinan.
     Sebagai pendekatan dalam kerja penelitian keagamaan, yang tentu saja melibatkan keyakinan dan partisipasi penganutnya, hermeneutika al-Quran hendaknya dikembangkan melalui cara-cara yang simpatik, menghindari bahasa-bahasa “genit, terlepas dari ideologi pihak yang menggunakannya. Sekali lagi, hermeneutika hanyalah pendekatan. Innama hiya muqarabah. Wallahu a’lam.


Daftar Pusakata

Alim, Yusuf Hamid al-, al-Maqasid al-‘Ammah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Riyadh: International Islamic Publishing House, 1994)
Asyur, Muhammad at-Tahir bin, Maqasid asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Tunis: Dar Suhnun, 2006).
Azhar, Hisyam bin Sa’id, Maqasid asy-Syari’ah ‘Inda al-Imam al-Haramain wa Atsaruha fi at-Tasarrufat al-Maliyah, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1429), h. 39 
Atiah, Jamaluddin, Nahwa Taf’il Maqasid asy-Syari’ah (Damaskus: Dar al-Fikr al-Islami, 2001).
Armas, Adnin, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an artikel diakses dari www.insistnet.com, pada tanggal 27 Desember 2012.
Khadimi, Nuruddin Mukhtar al-, al-Maqasid asy-Syar’iyyah Ta’rifuha Amtsilatuha Hujjiyyatuha, (Riyadh: Kunuz Isybilia, 2003).
_________________________, al-Maqasid asy-Syar’iyyah Turuq Itsbatiha Hujjiyyatuha Wasa’iluha (Riayadh: Kunuz Isybilia, 2008), cet. Ke-1.
Manzhur al-Misri, Muhammad bin Makram bin, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Darul Hadis, 1423 H./2003 M.).
Nurbayan, Yayan, Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Quran, makalah tidak diterbitkan. h. 12 
Palmer,  Richard E., Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru diterjemahkan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dari, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Jogjakarta: Pusataka Pelajar, 2005), cet. Ke-2.
Raisuni, Ahmad ar-, al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawa’iduhu (Sebris: Dar al-Baidha, 1999).
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, (Jogjakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009).



[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas individu pada Ujian Akhir Semester mata kuliah Hermeneutika-Semiotika yang diasuh oleh Dr. Yusuf Rahman, MA.
[2] Muhammad bin Makram bin Manzhur al-Misri, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Darul Hadis, 1423 H./2003 M.), juz 7, h. 377
[3] Redaksi aslinya: al-ma’ani wa al-hikam al-malhuzhah lis syari’ fi jami’ ahwal at-tasyri’ au mu’zhamuha bi haitsu la takhtasshu mulahazhatuha bi al-kaun fi nau’ khash min ahkam asy-syari’ah, lihat dalam Muhammad at-Tahir bin Asyur, Maqasid asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Tunis: Dar Suhnun, 2006), h. 49. Bandingkan dengan beberapa definisi yang dipaparkan oleh Nuruddin Mukhtar al-Khadimi dalam al-Maqasid asy-Syar’iyyah Ta’rifuha Amtsilatuha Hujjiyyatuha, (Riyadh: Kunuz Isybilia, 2003), h. 28
[4] Lihat sejarah maqasid dalam Nur ad-Din Mukhtar al-Khadimi, al-Maqasid asy-Syar’iyyah Turuq Itsbatiha Hujjiyyatuha Wasa’iluha (Riayadh: Kunuz Isybilia, 2008), cet. Ke-1, h. 43-93, Hisyam bin Sa’id Azhar, Maqasid asy-Syari’ah ‘Inda al-Imam al-Haramain wa Atsaruha fi at-Tasarrufat al-Maliyah, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1429), h. 39 
[5] Jamaluddin Atiah, Nahwa Taf’il Maqasid asy-Syari’ah (Damaskus: Dar al-Fikr al-Islami, 2001).
[6] Baca lebih lengkap dalam Ahmad ar-Raisuni, al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawa’iduhu (Sebris: Dar al-Baidha, 1999).
[7] Richard E. Palmer,  Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru diterjemahkan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dari, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Jogjakarta: Pusataka Pelajar, 2005), cet. Ke-2, h. 15
[8] Palmer,  Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru..., h. 39
[9] Palmer,  Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru..., h. 44
[10] Palmer,  Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru..., h. 47
[11] Lihat di antaranya dalam Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an artikel diakses dari www.insistnet.com, pada tanggal 27 Desember 2012.
[12] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, (Jogjakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 11-18
[13] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 7-10  
[14] Diterima-tidaknya sebuah asumsi/tesis dalam suatu kajian ilmiah merupakan persoalan yang wajar/lumrah. Argumentasi yang diajukan pun beragam. Mulai dari yang bersifat teologis, ideologis maupun epistemologis murni.     
[15] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya..., h. 23
[16] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya..., h. 25
[17] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya..., h. 28
[18] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya..., h. 29
[19] Yayan Nurbayan, Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Quran, makalah tidak diterbitkan. h. 12
[20] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 78
[21] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 81
[22] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 82-84
[23] Penulis menggunakan kulliat al-khams untuk memetakan perdebatan ini karena ia telah menjadi kategorisasi yang telah dipakai oleh ulama sejak al-Ghazali hingga era kontemporer ini. Namun demikian sebenarnya masih terjadi perdebatan tentang batasan masing-masing, sejauh mana pengertian hifzh ad-din dan hifzh al-‘aql. Mereka yang berbicara dalam persoalan ini dapat dipetakan dalam dua kelompok besar; kelompok ‘konservatif’ dan kelompok ‘progressif’. Kelompok pertama cenderung memaknai perlindungan sebagai bentuk konservasi terhadap praktik-praktik yang sudah mapan. Sebagai contoh, mereka memaknai hifzh ad-din di antaranya dengan pemberlakuan hukuman mati atas orang keluar dari agama (murtad), Hifzh al-‘aql dengan larangan minum-minuman keras, mengadopsi pandangan-pandangan liberal yang menyerang pandangan konvensional dan lain sebagainya. Sedangkan kelompok kedua mengartikan keduanya sebagai pemenuhan hak masing-masing prinsip syariat. Hifzh ad-Din berarti pemenuhan kebutuhan keagamaan umat manusia baik melalui  regulasi undang-undangan, pembangunan infrastruktur, layanan keagamaan dan lainnya.  Hifzh al-‘aql berarti penyediaan sarana pendidikan, kebebasan mengembangkan ilmu pengetahuan, regulasi undang-undang pendidikan yang adil dan seterusnya. Pengembangan hermeneutika dalam studi Islam, tidak lain bagian dari hifzh al-‘aql ini.     
[24] Dengan demikian, kepentingan kedua kelompok dapat diakomodir di sini. Perlu ditegaskan pula bahwa masih terjadi perdebatan tentang batas kedua maslahah tersebut. Namun untuk membatasi itu, tulisan ini memang tidak dimaksudkan menelisik lebih dalam. 
[25] Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqasid al-‘Ammah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Riyadh: International Islamic Publishing House, 1994), h. 207
[26] Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqasid al-‘Ammah..., h. 328

1 komentar:

  1. Harrah's Ak-Chin Casino - MapyRO
    The casino 원주 출장마사지 has 의왕 출장샵 11 gaming tables, including 3 restaurants: Harrah's Ak-Chin Casino, Harrah's Ak-Chin 이천 출장마사지 Casino, Harrah's 논산 출장샵 Ak-Chin Casino, Harrah's Ak-Chin Casino, 거제 출장샵

    BalasHapus