BAB I
PENDAHULUAN
As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik
atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi saw. merupakan perwujudan
dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah
menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan
periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama
telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari
para kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk
menghancurkan esensi hadis Nabi itu sendiri.
Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan
terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis).
Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali
sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk
memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan
hukum dalam menghadapi kondisi yang
berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung
ini adalah masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif
Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah,
perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan,
perbuatan dan persetujuan Nabi saw., di samping itu as-Sunnah juga merupakan sumber
kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah (tuntunan) nya.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw. haruslah dipahami secara benar dan tepat.
Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang
Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam
memaknai dan memahami hadis-hadis itu
sendiri.
Dari uraian
di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk dapat memahami hadis secara
benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis jelaskan tentang cara-cara atau
metode yang diberikan oleh al-Qardhawi dalam memahami hadis secara benar dan
tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat dan
Latar Belakang Pendidikan Yusuf Qardhawi
Nama
lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft Turab di
tengah Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir, pada
tanggal 9 September 1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya dua
tahun bersama ayahnya, karena ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran
yang pertama kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh tahun, ia
sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan keahliannya itu
ia dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat muda.
Pendidikan
formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia tempuh di
Ma’had al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-‘Aliyah, sehingga mendapatkan
hijaza diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun, keahliannya
yang menonjol adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan hadis).
Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan
pada tahun 1960.
B.
Hadis Dalam
Pandangan Yusuf Qardhawi
Di antara
para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasan yang luas
tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode
sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi
mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul),
seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar).
Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu
hadis.
Atas dasar
inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam
berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim; kedua,
manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan
terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syari’ah; ketiga, penafsiran orang-orang
bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat
terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu
tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi
kelompok yang bodoh.
Adapun prinsip-prinsip
dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai berikut:
1. Meneliti dengan
seksama tentang ke-shahih-an hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah
yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi
sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun
persetujuannya.
2. Dapat memahami dengan
benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan
pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud
(diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam kaitannya dengan nash-nash
al-Quran dan Sunnah yang lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta
tujuan-tujuan universal Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah
antara hadis yang diucapkan demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.),
dan yang bukan untuk itu. Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan
untuk tasyri’ (penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga
antara tasyri’ yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang
bersifat khusus atau sementara. Sebab,di antara ”penyakit” terburuk dalam
pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya.
3. Memastikan bahwa nash
tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat
kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih
banyak jumlahnya, atau lebih shahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul.
Dan juga tidak dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan
hikmah tasyri’, atau pelbagai tujuan umum syariat yang dinilai telah
mencapai tingkat qath’iy karena disimpulkan bukan hanya dari satu atau
dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang setelah digabungkan
satu sama lain mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya
(atau keberadaanynya sebagai nash).
As-Sunnah
adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Berbicara
mengenai hadis sebagai sumber ajaran agama (hukum) berarti kita harus
meletakkan hadis dalam kerangka diskursus ushul fiqh. Menurut ulama ushul fiqh
hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang
dapat dijadikan dalil hukum shara’. Dari sini dapat dilihat bahwa ulama ushul
menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai
musyarri’. Oleh karena itu, produk hadis ditempatkan sebagai sumber hukum Islam
setelah al-Quran. Penempatan hadis sebagai sumber hukum Islam tersebut,
didasarkan pada beberapa dalil al-Quran, di antaranya terdapat dalam QS.
al-Nisa’: 59 berikut:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB ( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx«
çnrãsù n<Î) «!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs ×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa’
ayat 80, yaitu sebagai berikut:
`¨B
ÆìÏÜã
tAqߧ9$#
ôs)sù
tí$sÛr& ©!$#
( `tBur 4¯<uqs?
!$yJsù
y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ
$ZàÏÿym
ÇÑÉÈ
Artinya: ”Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
(QS. Al-Nisa’: 80)
Kedua ayat tersebut, setidaknya mengisyaratkan adanya
perintah kepada orang-orang yang beriman, untuk taat kepada Allah dan Rasul
yang berarti taat kepada al-Quran dan hadis. Seseorang dikatakan taat kepada
Allah kalau dia juga taat kepada Rasul—Nya, dan demikian pula sebaliknya.
C.
Metode Pemahaman
Hadis Yusuf Qardhawi
1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk
al-Quran
Untuk
memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan
yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran, yaitu
dalam bingkai tuntunan-tuntunan Illahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat
pasti, seperti yang dijelaskan di dalam surat al-An’aam ayat 115, yakni sebagai
berikut:
M£Js?ur
àMyJÎ=x.
y7În/u $]%ôϹ Zwôtãur
4 w
tAÏdt6ãB ¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï9
4 uqèdur
ßìÏJ¡¡9$#
ÞOÎ=yèø9$# ÇÊÊÎÈ
”Dan
telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada
yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha
Mengetahui” (Al-An’am:
115).
Al-Quran
adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi yang menjadi rujukan
bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnha Nabi adalah
penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun
praktis.
Sedangkan
As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam
hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah
tugas Rasulullah saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada
mereka”.
Tugas
seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk
mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan
”apa yang hendak dijelaskan” atau sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan
dengan ”pokok”. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan tidak
pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang
bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat
keterangan-keterangannya yang jelas.
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal
ini disebabkan karena hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita yang tidak
benar atau tidak sesuai dengan maksud hadits tersebut, dan pertentangan
tersebut bersifat semu, bukan pertentangan yang hakiki. Ini berarti bahwa
sunnah harus dipahami dalam konteks al-Quran.
Seperti dalam hadist :
”Syaawiruu hunna wa khaliquu hunna”
(Bermusyawarahlah bersama mereka, tetapi janganlah mengikuti [hasil
musyawarahnya]), hadits ini adalah merupakan hadits palsu, karena bertentangan
dengan firman Allah tentang sikap kedua orangtua terhadap anaknya yang masih
menyusu, yaitu sebagai berikut:
*
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur
z`÷èÅÊöã
£`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym
Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã
sptã$|ʧ9$#
4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ
£`åkèEuqó¡Ï.ur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è?
ë§øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr 4 w §!$Òè?
8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur
×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur
Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB
y7Ï9ºs 3 ÷bÎ*sù #y#ur&
»w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB
9ãr$t±s?ur xsù
yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3 ÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@
ö/ä.y»s9÷rr& xsù
yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ
#sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B
Läêøs?#uä
Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur
©!$#
(#þqßJn=ôã$#ur
¨br&
©!$#
$oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya:
”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Sudah
dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman dalam
menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan cara
yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh
al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan
mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang
dijelaskan.
2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus
menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih
dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq dihubungkan dengan
yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan yang khas.
Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain
tidak boleh dipertentangkan.
Sebagaimana yang sudah disepakati, sunnah berfungsi
sebagai penafsir dan penjelas al-Quran. Artinya, sunnah memerinci ayat-ayat
yang global, menjelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang masih umum, dan
membatasi yang mutlak. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus
diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang lainnya.
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis
saja tanpa memperhatikan hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan
dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan
menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks hadis
tersebut.
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan
”mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup
keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh
sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk menunjukkan kritik yang tajam
terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)—nya
sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka, sehingga
hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini, sebagai syiar Islam terpenting, atau
kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang ’alim atau da’i
Muslim yang tidak memendekkan tsaub—nya, seperti yang mereka sendiri
melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya
menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang ”kurang beragama”!
Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis
yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang
lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam
soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan
mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan
sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegangan sikap mereka dan tidak
menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu
yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.
Dalam sebuah hadis yang dirawikan oleh Muslim dari Abu
Dzar r.a., bahwa Nabi saw . pernah bersabda: yang artinya ”tiga jenis
manusia, yang kelak, pada hari Kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah: (1)
seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu kecuali untuk
diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang berusaha melariskan barang
dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan (3) seorang yang
membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.”
Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar, yang artinya: ”Tiga
jenis manusia, yang kelak pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh Allah,
tidak dipandang oleh—Nya, tidak ditazkiah oleh—Nya, dan bagi mereka tersedia
azab yang pedih.” (Rasulullah saw . mengulangi sabda beliau itu tiga kali,
sehingga Abu Dzar berkata: ’Sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan
merugi! Siapa merreka itu, ya Rasulullah?’ Maka jawab beliau): ”Orang yang
membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi
sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan
dagangannya dengan bersumpah bohong.”
Hadis di atas juga didukung oleh hadis yang dirawikan
dalam shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah: ”Sarung
yang di bawah mata kaki, akan berada di neraka.”
Yang dimaksud dengan ”sarung” dalam hadis itu ialah
”kaki” seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan
dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya.
3. Penggabungan atau
Pentarjihan antara Hadis-hadis yang (Tampaknya)
Bertentangang (Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Pada
prinsipnya, nash-nash syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab,
kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada
pertentangan, maka hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya
kelihatan di luar saja bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama.
Dan kewajiban kita terhadap hal tersebut adalah menghilangkan pertentangan di
dalamnya.
Apabila
pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau
menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada
sehingga keduanya dapat diamalkan.
Salah satu
hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan
hadis-hadis shahih yang ”tampak” bertentangan, yang kandungannya sepintas
berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang
lainnya. Kemudian meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya
sehingga menjadi satu kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau
bertentangan karena keduanya saling melengkapi.
Dalam hal
ini, Yusuf Al-Qardhawi mengambil contoh hadis tentang ziarah kubur bagi wanita.
Misalnya, hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ”melaknat wanita yang
sering menziarahi kuburan.” (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi yang
berkata: ”Hadis ini hasan sahih”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban
dalam shahih—nya).[1]
Hal itu
dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum
wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan
terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Walaupun
demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis-hadis di
atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan menziarahi
kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw.
كنت نهيتكم عن زيارة
القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
”Aku pernah melarang kalian menziarahi
kuburan, kini ziarahilah kini ziarahlah” atau “ziarahilah
kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut.”[2]
Selain
hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya
wanita menziarahi kubur. Yaitu ”Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu
akan mengingatkan kepada maut.”
Dalam
hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga.
Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari
Aisyah, katanya: ”Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah?”
(Yakni apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau: ”Katakanlah: ’Salam
sejahtera atas kaum Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini.
Semoga Allah merahmati semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih
tertinggal. Kami, insyaAllah, akan menyusul kalian.”
Meskipun
hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita menziarahi kuburan)
lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun
menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna kandungannya, adalah
masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata ”melaknat” yang tersebut dalam
hadis—sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiy—yang ditujukan kepada para
wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat,
yang berkonotasi ”amat sering”. Menurut Al-Qurthubiy, mungkin sebabnya ialah
hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak
para suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta
meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi.
Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak
ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah
sesuatu yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata
Asy-Syaukani: ”Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya
penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut
zahirnya.”
Dan apabila
tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis yang pada
zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan
mentarjihkan (atau ’memenangkan’) salah satu darinya, dengan berbagi alasan
pentarjih yang tentukan oleh para ulama.
-
Soal Naskh
dalam Hadis
Masalah
yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan naskh
(pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh
(yang menghapus dan yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian
ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di dalam
menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya
diketahui mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya
hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika dalam hadis
lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al-Quran
bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang
dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu
ada yang mengandung ketetapan (’azimah), dan ada pula yang dimaksudkan
sebagai keringanan (rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum
masing-masing sesuai dengan kedudukannya.
4. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar
Belakang, Situasi dan Kondisinya
Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
Di
antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus
yang melatarbelakangi diucapkannya statu hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah
(alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan
darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Ini
berarti bahwa statu hukum yang dibawa oleh statu hadis, adakalanya tampak
bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut,
akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah
tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah—nya,
dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah—nya.
Untuk
dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui
kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari
pelbagai perkiraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam
pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Kita
mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran
dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab
yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus
ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari
kalangan Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat
yang Turín berkenaan dengan kaum musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah,
jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami
al-Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa
yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk
diketahui.
Hal
tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah universal dan
abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang
detil atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk
menyimpulkan darinya prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (‘ibrah)
apa yang kiranya dapat diambil darinya.
Lain
halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani pelbagai problem yang
bersifat local (maudhi’iy), particular (juz’iy) dan temporal (‘aniy).
Di dalamnya juga terdapat dalam al-Quran.
Oleh
sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan
yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang
universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan memperhatikan
konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,
pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja
yang beroleh taufik Allah SWT.
Dalam
hal ini, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai
mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan
Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’: “Tidak
dibolehkannya seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram
bersamanya.”
‘Illah
(alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan
apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini
mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun
keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas
atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu,
seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suazi ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan
dirinya, atau—paling sedikit—nama baiknya dapat tercemar.
Akan
tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Semarang,
ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang
mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut
ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan
wanita bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi
syariat, jika ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak
pelanggaran terhadap hadis tersebut.
5. Membedakan antara Sarana yang
Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap
Di
antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah bahwa
sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai
oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang
pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah
yang menjadi tujuan sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami
Setiap
sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lanilla, dan
dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami
perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang
menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan
tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita
dengannya, ataupun membekukan diri kita disampingnya.
Bahkan,
sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang
cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita
harus berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya
yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.
Sebuah
contoh yaitu hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon
tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga
mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis ”siwak
menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.”
Adakah
penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia hanya
suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah
saw. menganjurkan penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat
oleh mereka?!
Oleh sebab
itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah
memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat
diproduksi secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang;
seperti sikat—gigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan
oleh sejumlah fuqaha’.
Dengan ini,
kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang digunakan
sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah,
setelah makan, atau ketika hendak tidur.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan
majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai
balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara
yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi,
aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini
tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi
yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Sebagai
misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:
$¯RÎ)
$oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù
br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur
$pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$#
( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß
Zwqßgy_ ÇÐËÈ
Artinya: ” Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu keharusan. Atau, jika
tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw. berkata kepada istri-istri beliau: ”Yang
paling cepat menyusulku di antara kalian –sepeninggalku –adalah yang paling
panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah
yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan
oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya
paling panjang.
Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil
sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang
dimaksud oleh beliau dengan ”tangan yang paling panjang” ialah yang paling
banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)
Maksudnya
membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata (nyata), di sini adalah dalam
hal memaknai teks hadis. Di antara kandungan As-Sunnah, ada beberapa hal yang berkaitan dengan alam gaib (’alam
al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak
dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, mereka adalah jenis makhluk
spiritual (halus), tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap dengan indera
dan tidak memiliki bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini
tidak makan, tidak minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga
tidak mempunyai sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang diciptakan
untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar dzikir, tasbih, dan
ibadah, sebagaimana halnya nafas yang
keluar dari seorang manusia. Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana
yang diberikan Allah kepada manusia.
Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula
kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat
melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka. Dan di antara mereka itu
adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah di hadapan Allah SWT
untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah kebatilan dan kejahatan dalam
pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dijelaskan:
tA$s%
y7Ï?¨ÏèÎ6sù
öNßg¨ZtÈqøî_{
tûüÏèuHødr& ÇÑËÈ wÎ)
x8y$t7Ïã ãNßg÷YÏB
úüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÑÌÈ
Artinya: iblis
menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”[Shad: 82-83] (Yang
dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk
mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.)
Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan
dengan kehidupan di alam barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan
sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan
malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan
ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan
akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar,
peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari para nabi,
khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca amalan manusia), hisab,
shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya; baik yang bersifat
material maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan
juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang
maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula dengan ’arsh
dan kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera penglihatan manusia.
8. Memastikan Makna dan
Konotasi Kata-kata dalam Hadis
Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan
makna dan konotasi yang dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan
kata dan konotasi setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda
dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata
tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak
ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini
adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam
as-Sunnah (atau juga dalam al-Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru
(atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja).
- Implementasi Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf
al-Qardhawi ini mengindikasikan bahwa
metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang
marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang
adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran hadis.
Secara
spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali
baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan
refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari
realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari
sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman
hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan
sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika
dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Yusuf
Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang
relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat
pemahaman atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat
yang sama menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan
dirinya sendiri berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang
dikandungnya, relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa
relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.
Bagaimanapun
juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya
pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang
berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya
dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan
kompleks. Oleh sebab itu,
aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.
Munculnya
pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada upaya pengembangan
pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa
kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi telah memberi manfaat dalam menggali
nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini. Namun disisi lain
harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi membuka peluang
semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika perbedaan pandangan
itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk mereka sendiri yang
paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang berseberangan dengan mereka
adalah salah.
BAB III
KESIMPULAN
Seperti
yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah
a-Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa memahami
dengan baik apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah, sebagai
penjelas dari pada al-Quran.
Dari sini
Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami hadis secara benar
dan tepat, antara lain sebagai berikut:
-
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
-
Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
-
Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis
yang Kontradiktif.
-
Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi
serta Tujuannya.
-
Membedakan antara Sarana yang
Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
-
Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
-
Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
-
Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Poin yang
selanjutnya dalam pembahasan di atas adalah mengenai Implementasi Pemahaman
Yusuf Al-Qardhawi. Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini
mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah
menimbulkan dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada
akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi
pemikiran hadis.
Secara
spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali
baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan
refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari
realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari
sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman
hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan
sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Daftar Pustaka
Ø Judul Asli; Kaifa Nata’amalu
Ma’a As-sunah An-Nabawiyyah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar