Abdussalam
Abstrak
Ada tuduhan dalam teks hadits terdapat inkonsistensi status
sebuah perkara, yang nantinya akan menimbulkan negative thinking bahwa
Nabi SAW di
anggap tidak konsisten, anggapan semacam itu
adalah kesalahan orang yang memang tidak paham bahkan tidak
mengetahui seluk beluk ilmu hukum. Pakar hukum
Islam (mujtahid) terdahulu mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang
secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah
penyelesaian. Hasil dari pada kajian para pakar hukum di atas sekarang bisa
kita peroleh dan kita pelajari dalam literatur hukum Islam yang termuat dalam
bab khusus, yaitu sub kontradiksi hukum.
Apabila menurut analisis seorang mujtahid ada dua dalil yang saling
bertentangan, maka dapat digunakan metode tertentu untuk menyelesaikannya.
Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan empat metode penyelesaian: 1) An-Nasakh,
2) Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Ini dapat dilakukan jika masa
turunnya kedua dalil tersebut tidak diketahui. Namun dalam melakukan tarjih,
seorang mujtahid harus mengemukakan argument yang membuat satu dalil lebih kuat
dibandingkan dengan dalil lainnya. 3) Al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu
menggabungkan dalil yang bertentangan dan kemudian mengkompromikannya. Metode
ini dilakukan jika penyelesaian dengan cara tarjih tidak berhasil. Metode ini
didasarkan atas kaidah fiqh “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. 4) Tasaqu al-Dalilain,
yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila ketiga cara di atas
tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua
dalil tersebut. Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama
Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan al-Dhahiri adalah sebagai berikut: 1.
Al-Jam’u wa al-Taufiq 2. Tarjih. 3. An-Nasakh. 4. Tasaqu al-Dalilain.
Menurut mereka keempat cara ini harus ditempuh oleh mujtahid secara
berurutan.
Dalam makalah ini akan dibahas Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu metode
metode yang diberdayakan para ulama hadits dalam menyelesaikan permasalahan
seputar kontradiksi hadith.
Definisi Nâsikh dan
Mansukh
Secara etimologi kata Nasikh adalah
bentuk isim fa’il, dari madli نسخ yang mempunyai beberapa makna, yaitu الإزا لة (meng-hilangkan) seperti kata نسخت
الشمس الظلّ (mata hari itu menghilangkan naunganya). Dan النقل (memindahkan) seperti kaliamat نسخت الكتاب (aku
memindahkan apa yang ada di dalam buku). Jadi Nâsikh itu menghilangkan
yang mansukh atau memindakannya pada yang lain.[1] Sedangkan mansukh
adalah hukum yang di angkat atau dihapuskan[2]
Sedangkan secara terminology para ahli
hadis dan ushuliyun memberikan definisi yang berbeda namun subtansinya
adalah sama. Seperti yang diberikan oleh Mahmud al-Thahhân:
رفع الشارع حكماً
منه مقدماً بحكمٍ منه متأخر
“Mengangkat hukum yang terdahulu(sebelumnya) dengan
hokum yang lain (kemudian)”[3]
Sedangkan definisi yang
diberikan oleh usuli yakni Abdul Wahab khȃlaf ialah:
إبطال العمل بالحكم
الشرعي بدليل متراخ عنه، يدلّ على إبطاله صراحة او ضمناً، إبطالاً كليّاً أو
إبطالاً جزئياً مصلحة إقتضيته، أو هو إظهار دليلٍ لاحقٍ نسخ ضمناً العمل بدليل
السابق
“Pembatalan
pemberlakuan hukum Shar’i dengan dalil yang datang kemudian dari hukum
sebelumnya, yang menunjukan pembatalannya baik secara terang-terangan atau
secara kandungan saja, baik secara pembatalan secara umum ataupun pembatalan
sebagian saja kareana suatu kemaslatan yang menghendakinya, atau nasikh itu
adalah: Menyatakan dalil usulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil
yang terdahulu.”[4]
Menurut al Jurjani nâsikh adalah datangnya dalil Syâr’i setelah adanya dalil syar’i awal yang mengharuskan adanya perbedaan
hukum atau bisa juga diartikan keterangan tentang berakhirnya hukum
syara’ sehingga harus diganti dan dirubah.[5]
Mengenai nasakh mansukh dalam ilmu hadits Para muhadditsin memberikan
gambaran tentang ilmu hadits nasikh dan mansukh seperti keterangan Suyuti.[6]
والمختار أن النسخ رفع الشارع حكما منه متقدما بحكم منه متأخر
“ Penghapusan Syar’i terhadap suatu hukum yang datang duluan
dengan hukum yang datang belakangan “.
Dari pengertian pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu
Nasikh mansukh hadith adalah : ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling
berlawanan maknanya, yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum,
dengan cara menentukan salah satu hadith sebagai nasikh (penghapus) dan hadith
yang lain sebagai mansukh (yang dihapus), hadits yang mendahului adalah sebagai
mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
Urgensi Ilmu Nâsikh dan Mansukh
Salah satu cabang pengkajian Ilmu Hadits yang terpenting utamanya adalah
yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Nâsikh dan Mansukh. Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia
merupakan salah satu syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus
mengetahui latar belakang dalil secara hukum khususnya hadits yang akan
dijadikan azas hukum.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna
ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan
ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil
naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula
dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab Hadits
menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan
tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari
dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk
mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah
mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain
sebaginya dari segi makna.”
Seorang ilmuwan hadits yang mengetahui nasakh dan masukh mempunyai
keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit sebagaimana
ungkapan al Zuhri: “ yang paling memberatkan dan menguras tenaga bagi ahli
fikih adalah membedakan hadits yang telah dimansukh dari dengan hadits yang
manasihknya.[7]
Imam syafii seorang yang
terkenal dengan gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang
ini.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang
besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan
kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadis sangat besar,
Imam Syafi’i, imam Hambali dan para imam yang lain begitu menganggap penting
ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman hadis akan menjadi
benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka
memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-imam juga menjelaskan
hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan mempelajarinya, menekuninya,
menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan
menyusun karya dalam bidang ini[8]
Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh dan Contohnya
Nasikh dan mansukh dapat diketahui dari beberapa hal sebagai berikut :
1.
Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam, seperti sabda beliau
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ
زَوَّارَاتِ القُبُورِ.
Abu Hurairah brkata bahwa, “Sesungguhnya
Rasulullah saw melaknat untuk ziyarah kubur”.
Pada hadis selanjudnya Nabi SAW bersabda tentang
kebolehan berziyarah kubur.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
الْخَلَّالُ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ
قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأُمِّ
سَلَمَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَرَوْنَ بِزِيَارَةِ الْقُبُورِ
بَأْسًا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan
Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah
menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah
melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi
kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat
mengingatkan akhirat." (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna
diriwayatkan dari Abu Sa'id, Ibnu Mas'ud, Anas, Abu Hurairah dan Umu
Salamah." Abu Isa berkata; "Hadits Buraidah adalah hadits hasan
sahih. Ulama mengamalkannya mereka berpendapat bahwa ziarah kubur tidak
mengapa. Ini adalah pendapat Ibnu Mubârak, Syâfi'i, Ahmad dan Ishaq.[9]"
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي
سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ قَالَ وَفِي الْبَاب
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ
أَنْ يُرَخِّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زِيَارَةِ
الْقُبُورِ فَلَمَّا رَخَّصَ دَخَلَ فِي رُخْصَتِهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ و
قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا كُرِهَ زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِلنِّسَاءِ لِقِلَّةِ
صَبْرِهِنَّ وَكَثْرَةِ جَزَعِهِنَّ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah
menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Umar bin Abu Salamah dari Bapaknya
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat
wanita-wanita yang menziarahi kuburan. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata;
"Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hassan bin Tsabit."
Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih. Sebagian ulama
berpendapat bahwa larangan ini sebelum keluarnya keringanan dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai bolehnya menziarahi kuburan.
Setelah beliau memberikan keringanan di dalamnya, termasuk di dalamnya
laki-laki maupun perempuan. Adapun sebagian dari mereka berpendapat;
dimakruhkannya berziarah atas wanita karena sedikitnya kesabaran dan banyaknya
keluh kesah mereka."[10]
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang,
kemudian diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat
yang kedua Nabi menyebutkan sisi positif
ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa
diambil, juga karena mengingatkan kematian. Maka hadis yang pertama di atas di hapus oleh
hadis yang kedua dengan perkataan rukhsoh tersebut.
2.
Media kedua adalah perkataan dan penjelasan dari sahabat, contoh
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنِ ابْنِ أَبِي
ذِئْبٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ يَصُومُ عَاشُورَاءَ وَيَأْمُرُ
بِصِيَامِهِ.
Sebelum ramadhan diwajibkan para ulama
mengatakan bahwa puasa pada bulan ashura’ itu disunnahkan, dan mengenai
kewajabannya mereka masih berselisih pendapat sebagian dari mereka mengatakan
wajib akan tatapi setelah ramadhan diwajibkan maka kewajiban puasa ashra’
tersebut dihapus.
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ حدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
الْشَّافِعِيُّ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ النَّبِيُّ يَصُومُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ،
فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ كَانَ هُوَ الْفَرِيضَةَ، وَتَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ
صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
49 -
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، أَنَّهُ سَمِعَ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي يَزِيدَ
يَقُولُ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: مَا عَلِمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَامَ
يَوْمًا يَتَحَرَّى صِيَامَهُ فَضَّلَهُ عَلَى الأَيَّامِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ،
يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَيْسَ مِنْ هَذِهِ
الأَحَادِيثِ شَيْءٌ مُخْتَلِفٌ عِنْدَنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ، إِلاَّ شَيْئًا
ذَكَرَهُ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، وَهُوَ مِمَّا وَصَفْتُ مِنَ الأَحَادِيثِ
الَّتِي يَأْتِي بِهَا الْمُحَدِّثُ بِبَعْضٍ دُونَ بَعْضٍ، فَحَدِيثُ ابْنُ أَبِي
ذِئْبٍ، عَنْ عَائِشَةَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ،
وَيَأْمُرُ بِصِيَامِهِ، لَوِ انْفَرَدَ كَانَ ظَاهِرُهُ أَنَّ عَاشُورَاءَ كَانَ
فَرْضًا
Pendapat
Imam asy-Syafi’i, hadis di atas tidak bertentangan kecuali suatu hadis yang
diceritakan oleh Aisyah ra. karena beliau menganggapnya puasa yang dikerjakan
oleh Rasul Saw atau puasa asyura’ yang diperintahkan oleh Rasul saw tersebut di
anggap wajib, karena dzahirnya mimang wajib.[11]
Menurut
Abi Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani’ al-Atsram, hadis tersebut adalah Nasikh
dan mansukh, namun dzahirnya adalah Ikhtilaf.[12]
50 -
وَذَكَرَ مَالِكٌ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَامَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ
الْفَرِيضَةَ، وَتَرَكَ عَاشُورَاءَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: لاَ يَحْتَمِلُ قَوْلُ
عَائِشَةَ: تَرَكَ عَاشُورَاءَ، مَعْنًى يَصِحُّ إِلاَّ تَرَكَ إِيجَابَ صَوْمِهِ
، إِذْ عَلِمْنَا أَنَّ كِتَابَ اللَّهِ بَيَّنَ لَهُمْ أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ
الْمَفْرُوضُ صَوْمُهُ، وَأَبَانَ لَهُمْ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ، وَتَرَكَ
إِيجَابَ صَوْمِهِ، وَهُوَ أَوْلَى الْأُمُورِ عِنْدَنَا؛ لأَنَّ حَدِيثَ ابْنِ
عُمَرَ وَمُعَاوِيَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ، أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكْتُبْ صَوْمَ
يَوْمِ عَاشُورَاءَ عَلَى النَّاسِ، وَلَعَلَّ عَائِشَةَ إِنْ كَانَتْ ذَهَبَتْ
إِلَى أَنَّهُ كَانَ وَاجِبًا ثُمَّ نُسِخَ، قَالَتْهُ لأَنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ
تَكُونَ رَأَتِ النَّبِيَّ لَمَّا صَامَهُ وَأَمَرَ بِصَوْمِهِ كَانَ صَوْمُهُ
فَرْضًا، ثُمَّ نَسَخَهُ تَرْكُ أَمْرِهِ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَدَعَ صَوْمَهُ،
وَلاَ أَحْسَبُهَا ذَهَبَتْ إِلَى هَذَا، وَلاَ ذَهَبَتْ إِلاَّ إِلَى الْمَذْهَبِ
الأَوَّلِ؛ لأَنَّ الأَوَّلَ هُوَ مُوَافِقٌ الْقُرْآنَ، أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ
الصَّوْمَ فَأَبَانَ أَنَّهُ شَهْرُ رَمَضَانَ، وَدَلَّ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ
وَمُعَاوِيَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِثْلِ
مَعْنَى الْقُرْآنِ، بِأَنْ لاَ فَرْضَ فِي الصَّوْمِ إِلاَّ رَمَضَانَ،
وَكَذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ: مَا عَلِمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَامَ يَوْمًا
يَتَحَرَّى فَضْلَهُ عَلَى الأَيَّامِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ، يَعْنِي يَوْمَ
عَاشُورَاءَ، كَأَنَّهُ يَذْهَبُ يَتَحَرَّى فَضْلَهُ فِي التَّطَوُّعِ بِصَوْمِهِ
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa maksud dari pernyataan
Aisyah “تَرَكَ عَاشُورَاءَ” adalah
tidak adanya kewajiban berpuasa pada hari itu. Karena kita ketahui al-Qur’an
telah menjelaskan bahwa bulan Ramadlan yang diwajibkan puasanya. Kemudian
Rasulullah menjelaskan masalah puasa ‘Asyuro’ dan tidak mewajibkannya. Ia
sekadar menjadi ibadah yang utama bagi kita. Karena hadis Ibn Umar dan
Mu’awiyah yang diriwayatkan dari Rasulullah menegaskan bahwa Allah tidak
mewajibkan puasa ‘Asyuro’ kepada manusia. Barangkali ‘Aisyah menganggapnya
wajib kemudian kewajiban itu dinâsakh. Itu beliau nyatakan karena
kemungkinan beliau pernah menyaksikan Rasul berpuasa dan memerintahkan untuk
melakukannya, maka menjadi wajib. Kemudian itu dinâsakh oleh tidak
adanya perintah; dipersilakan meninggalkannya bagi yang mau (dalam redaksi
hadis: وَتَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ
شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ). Saya tidak melihat Aisyah berpendapat seperti ini, tidak pula
menganut pendapat yang pertama, karena pendapat yang pertama sesuai dengan
al-Qur’an; bahwasanya Allah telah mewajibkan puasa, lalu menjelaskan bahwa itu
adalah pada bulan Ramadhan. Sedangkan hadis Ibn Umar dan Mu’awiyah adalah
semakna dengan al-Qur’an; bahwasanya tidak ada puasa wajib kecuali Ramadlan.
Demikian pula pernyataan Ibn Abbas: “Aku tidak pernah menyaksikan Rasulullah
saw. berpuasa pada satu hari dengan mencari keutamaan hari tersebut atas hari-hari
yang lain, kecuali pada hari ini”, yaitu hari ‘Asyuro’. Seakan-akan Ibn Abbas
berpendapat bahwa mencari keutamaan itu dengan berpuasa sunnah.[13]
حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ وَدَاوُدُ بْنُ رَشِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا
مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بِشْرٍ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Telah menceritakan kepada kami
Ayyub bin Muhamamd Ar Raqqi dan Dawud bin Rasyid keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami Mu'ammar bin Sulaiman berkata, telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Bisyr dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang
yang membekam dan yang dibekam semuanya batal"[14]
Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang diriwayatkan Imam
Tirmidzi
حدثنا بشر
بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال
احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم صائم
Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya
puasa orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan
bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun sssobyek bekam juga diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa
hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu
makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada
haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu
makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka hadits yang
kedua menasakh hadits pertama.[15]
Dan berikut ini selengkapnya;
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ
وَسَعْدٍ وَشَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ وَثَوْبَانَ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَعَائِشَةَ
وَمَعْقِلِ بْنِ سِنَانٍ وَيُقَالُ ابْنُ يَسَارٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ
وَأَبِي مُوسَى وَبِلَالٍ وَسَعْدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَذُكِرَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ أَنَّهُ قَالَ أَصَحُّ
شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ حَدِيثُ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ وَذُكِرَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ حَدِيثُ ثَوْبَانَ
وَشَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ لِأَنَّ يَحْيَى بْنَ أَبِي كَثِيرٍ رَوَى عَنْ أَبِي قِلَابَةَ
الْحَدِيثَيْنِ جَمِيعًا حَدِيثَ ثَوْبَانَ وَحَدِيثَ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ وَقَدْ
كَرِهَ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ حَتَّى أَنَّ بَعْضَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
احْتَجَمَ بِاللَّيْلِ مِنْهُمْ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ وَابْنُ عُمَرَ وَبِهَذَا
يَقُولُ ابْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ أَبُو عِيسَى سَمِعْت إِسْحَقَ بْنَ مَنْصُورٍ يَقُولُ
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ مَنْ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ
الْقَضَاءُ قَالَ إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ وَهَكَذَا قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ حَدَّثَنَا
الزَّعْفَرَانِيُّ قَالَ و قَالَ الشَّافِعِيُّ قَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
وَلَا أَعْلَمُ وَاحِدًا مِنْ هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ ثَابِتًا وَلَوْ تَوَقَّى رَجُلٌ
الْحِجَامَةَ وَهُوَ صَائِمٌ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ وَلَوْ احْتَجَمَ صَائِمٌ لَمْ
أَرَ ذَلِكَ أَنْ يُفْطِرَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَكَذَا كَانَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ
بِبَغْدَادَ وَأَمَّا بِمِصْرَ فَمَالَ إِلَى الرُّخْصَةِ وَلَمْ يَرَ بِالْحِجَامَةِ
لِلصَّائِمِ بَأْسًا وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
احْتَجَمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Dari Rafi' bin
Khadij dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang
membekam dan yang dibekam puasanya telah batal". Abu 'Isa berkata;
"Hadits yang semakna diriwayatkan dari 'Ali, Sa'ad, Syaddad bin Aus,
Tsauban, Usamah bin Zaid, 'Aisyah, Ma'qil bin Sinan atau yang bernama Ibnu
Yasar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abu Musa, Bilal dan Sa'ad." Abu 'Isa
berkata; "Hadits Rafi' bin Khadij merupakan hadits hasan shahih.
Disebutkan bahwa Ahmad bin Hambal berkata; 'Hadits yang paling shahih dalam hal
ini ialah haditsnya Rafi' bin Khudaij.' Ali bin Abdullah berkata; 'Hadits yang
paling shahih dalam hal ini ialah haditsnya Tsauban dan Syaddad bin Aus karena
Yahya bin Abu Katsir meriwayatkan dari Abu Qilabah kedua hadits tersebut.
Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membenci
berbekam untuk orang yang sedang berpuasa hingga sebagian sahabat Nabi berbekam
pada malam hari. Di antaranya adalah: Abu Musa dan Ibnu Umar. Hal ini juga
merupakan pendapatnya Ibnul Mubarak." Abu 'Isa berkata; "Saya
mendengar Ishaq bin Manshur berkata; 'Abdurrahman bin Mahdi berkata; "Barang
siapa yang berbekam ketika berpuasa maka wajib mengqadlanya." Ishaq
bin Manshur berkata; "Demikian itu pendapatnya Ahmad dan Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Az Za'farani berkata; Syafi'i berkata;
'telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau
berbekam ketika berpuasa. Diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beliau bersabda: "Orang yang membekam dan yang dibekam
puasanya telah batal". Namun saya tidak tahu hadits mana yang
tsabit (dapat dijadikan pedoman) dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Jika
orang yang berpuasa berhati-hati dan tidak berbekam itu lebih aku
sukai, akan tetapi jika dia berbekam menurutku hal itu tidak membatalkan puasa.
Abu 'Isa berkata; "Perkataan tadi merupakan pendapatnya Syafi'i di Bagdad.
Adapun pendapatnya di Mesir, beliau berpendapat bolehnya orang yang berpuasa
untuk berbekam dan tidak membatalkan puasa, beliau berhujjah dengan hadits yang
diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berbekam pada waktu Haji Wada' dalam
keadaan sedang ihramdan berpuasa."[16]
[5] Abu al Hasan
Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani, al Ta’rifat, (Beirut: Dar al Kutub
al Ilmiyah, 2003), 237
[6] Jalaluddin al Suyuti, Tadrib al Rawi fi Syarhi Taqrib al Nawawi,
(Riyadh: Dar al Toyyibah, t.th), juz 2, 642, lihat Mahmud al Tahhân, Taisir Mustalah al Hadith,
(Beirut: Dar al Fikr, t.th), 49
[7] Muhammad bin Muhammad Abu
Shuhbah, al Wasit fi ulumi wa musthalah al hadits, (Kairo; Dar al Fikr
al Araby, 1982), 459
[9] Sumber: at-Tirmidzi Kitab; Jenazah Bab: Rukhsah tentang ziarah
kuburan. No. Hadist: 974
[11] Muhammad bin Idris as-Syafi’i. ikhtilaf al-Hadis, lhm; 70. Cet;
Bairut libanun. Dar al-kutub il-miyah; 1971
[13] Muhammad bin Idris as-Syafi’I. ikhtilaf al-Hadis, lhm; 70. Cet;
Bairut libanun. Dar al-kutub il-miyah; 1971
[15] Muhammad bin Idris as-Syafi’i. ikhtilaf al-Hadis,
hlm; 70. Cet; Bairut libanun. Dar al-kutub il-miyah; 1971
Tidak ada komentar:
Posting Komentar